Sabtu, 22 Maret 2014

NEFOS Modal Songsong Perang Asia Timur Raya Jilid II


Barang siapa punya imajinasi terhadap masa depan, maka dialah yang akan dimenangkan oleh sejarah (Bung Karno)

Saya teringat kala menyusun buku perdana saya, “Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia”, pada 2010. Buku ini mengkonstruksikan jalinan kisah seputar “Operasi Senyap” CIA dalam membantu penggulingan beberapa kepala negara yang dipandang Washington sebagai musuh. Para kepala negara yang berpotensi bertabrakan kepentingan dengah korporasi global di balik kebijakan strategis luar negeri Paman Sam.

Saat membaca dokumen, maupun sumber sekunder lain, sontak muncul temuan-temuan baru yang tentunya juga perspektif baru memaknai jalinan kisah yang sudah berlangsung puluhan tahun tersebut.

Ternyata, ada beberapa kepala negara yang ikut serta dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, pada April 1955, yang kemudian tergusur dari pentas politik negaranya secara paksa.

U Nu, Perdana Menteri Birma (Myanmar), digulingkan junta militer pimpinan Jenderal Ne Win pada 1962. Bung Karno, digulingkan melalui kudeta merangkak berliku sejak 1965 yang mencapai kulminasi 1967. Pangeran Norodom Sihanouk digusur lewat kudeta militer Jenderal Nguyen van Thiu pada 1970.

Menariknya lagi, Presiden Aljazair Ben Bella, yang tidak ikut KAA di Bandung, namun pemrakarsa sekaligus tuan rumah KAA di negaranya, digulingkan Kolonel Houari Boumedienne pada 19 Juni 1965. Alhasil, KAA yang sedianya 23 Juni 1965 dibatalkan.

Kwame Nkrumah dari Ghana, digusur militer pada Februari 1966. Pada KAA Bandung, Nkrumah belum ikut. Namun dia salah satu pemrakarsa Konferensi Gerakan Non Blok (GNB) pada 1961 di Beograd bersama Bung Karno, Gamal Abdel Nasser (Mesir), Joseph Broz Tito (Yugoslavia), dan Pandit Jawaharlal Nehru (India). Kenapa digusur? Apa karena dipandang Washington sebagai komunis yang berkiblat ke Uni Soviet dan China? Bukan. Mereka ini pemrakarsa KAA dan GNB yang bermaksud membangun “Kekuatan Ketiga” di luar skema AS-Inggris maupun Soviet-China.

Mereka berbahaya di mata para pemain tingkat tinggi Washington kala itu, seperti David Rockefeller, Allen Dulles, Augustus C Long (senior CEO Texaco Group), yang mewakili setidaknya 600 korporasi global AS yang menguasai industri-industri berat seperti migas, tambang batubara, emas, dan tentu industri strategis pertahanan.

“Kekuatan Ketiga” macam apa yang begitu menakutkan sehingga para arsitek KAA dan GNB jadi target untuk digulingkan?

Gagasan pembentukan “Kekuatan Ketiga” memang baru dikumandangkan Bung Karno secara konseptual pada pertengahan 1960-an, yang kemudian populer disebut NEFOS atau The New Emerging Forces. Kekuatan ketiga yang bukan sekadar tidak ingin terseret ke kubu AS-Inggris maupun kubu Soviet-China.

NEFOS merupakan kontra skema kapitalisme global. Sebuah gerakan pro aktif “Perang Asimetrik” melawan skema kapitalisme global negara-negara maju melalui perang non militer.

Sayang, harus terhenti sebelum menemukan format pas, menyusul tergusurnya Bung Karno, Ben Bella, U Nu, Nkrumah dan Sihanouk.

Lebih sayang lagi, NEFOS yang harusnya jadi harta karun, seakan dengan sadar dikubur hidup-hidup menyusul tergusurnya Bung Karno dan munculnya Rezim Orde Baru Soeharto. Dan celakanya, Orde Reformasi kadung “amnesia sejarah” untuk menghidupkan, apalagi merevitalisasi NEFOS.

Dalam berbagai kesempatan, secara provokatif, saya selalu mengingatkan berbagai kalangan agar siap, jika sewaktu-waktu terjadi “Perang Asia Timur Raya Jilid II”.

Mengapa? Sesuai prediksi Samuel Huntington, antara 2015-2017, persaingan global AS versus China akan makin menajam. “Proxy war” antara kedua kutub --yang berlangsung di Asia Tengah sejak 2001 dan di Timur Tengah seperti tercermin dalam konflik berdarah Suriah -- akan bergeser ke kawasan Asia Tenggara.

Siapkah kita? Sebagaimana kesiapsiagaan Bung Karno dan para perintis kemerdekaan Indonesia saat mengantisipasi pecahnya Perang Asia Timur Raya pada 1941-1945, dan berhasil mewujudkan kemerdekaan 17 Agustus 1945?

Saya khawatir, para elit politik kita tak punya rujukan menjawab isu global yang cukup krusial tersebut. Apalagi, menawarkan diri sebagai pusat solusi dunia seperti saat Bung Karno menggulirkan gagasan penyelenggaraan KAA dan GNB sebagai dasar kemunculan gagasan terbentuknya “Kekuatan Ketiga”.

Padahal, meski tidak ada “Perang Dingin”, sejak China dan Rusia bersepakat membentuk Aliansi Strategis di bawah payung “Shanghai Cooperation Organization” (SCO), seharusnya kita siap memprakarsai kembali gagasan terbentuknya “Kekuatan Ketiga”, jika menghayati betul makna NEFOS.

India, Brasil yang kemudian disusul Afsel, tampaknya jauh lebih imajinatif daripada kita. Mereka mampu menyerap inspirasi terbentuknya SCO dan kemudian memprakarsai Blok Ekonomi BRICS dengan mengikutsertakan Rusia dan China sebagai kontra skema kapitalisme global AS-Uni Eropa.

Inilah perang asimetrik yang berhasil dilancarkan India, Brasil dan Afsel memanfaatkan polarisasi kutub AS-Uni Eropa versus China-Rusia.

Kita dan negara-negara ASEAN umumnya, yang menyadari betapa makin tajamnya persaingan AS versus China merebut “Sphere of Influence” di Asia Tenggara, sebenarnya cukup berpeluang melakukan sebuah inisiatif politik di dunia internasional. Untuk membangun sebuah aliansi strategis baru di kawasan Asia Tenggara dan mengimbangi aliansi konservatif AS-Uni Eropa.

Dengan didasari gagasan merevitalisasikan NEFOS dalam kerangka membangun “Kekuatan Ketiga”, model kerjasama ala SCO dan BRICS cukup inspiratif sebagai bahan menyusun “Perang Asimetrik” terhadap kekuatan-kekuatan politik internasional yang sedang menyasar Indonesia dan Asia Tenggara.

Inilah relevansi yang saya katakan, apakah kita siap menyongsong Perang Asia Timur Raya Jilid II dan muncul sebagai pemenang? Seperti kita memanfaatkan momentum Perang Asia Timur Raya untuk kemerdekaan Indonesia.

(Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute dan jurnalis eks Tabloid DeTIK)


Sumber: http://nefosnews.com/post/opini/nefos-modal-songsong-perang-asia-timur-raya-jilid-ii 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar